Medan (Sumut) – Semangat perubahan dan kesadaran akan masa depan industri kelapa sawit yang berkelanjutan kini bersemi di kalangan mahasiswa Sumatera Utara. Mereka tidak hanya lantang menyuarakan kepedulian, tetapi juga aktif mengambil peran dalam mewujudkan praktik yang bertanggung jawab dalam sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah ini.
Diskusi publik bertajuk “ISPO dalam Teori & Praktik: Resolusi Gerakan Mahasiswa Mewujudkan Kelapa Sawit Berkelanjutan” yang dihelat oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumatera Utara (Sumut) menjadi momentum penting. Bertempat di Cafe Tentrem Aksata, Medan (10/05/2025), forum ini mempertemukan gagasan segar mahasiswa dengan perspektif mendalam mengenai implementasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Ketua Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F SERBUNDO), Herwin Nasution S.H., memaparkan kondisi memprihatinkan yang dialami para pekerja. Kecelakaan kerja seperti mata rabun hingga kebutaan, cacat permanen akibat alat kerja, hingga insiden maut akibat tertimpa tandan buah sawit atau tergilas kendaraan berat menjadi realitas kelam di perkebunan.
“Keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan, tenaga medis, dan obat-obatan yang memadai di daerah terpencil semakin memperburuk situasi. Ironisnya, paracetamol seringkali menjadi andalan untuk mengatasi berbagai keluhan kesehatan,” ungkapnya di sela-sela diskusi.
Herwin menekankan bahwa Prinsip IV ISPO yang mengatur tentang Tanggung Jawab terhadap Ketenagakerjaan dengan 6 kriterianya—termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, pemenuhan administrasi hubungan kerja, peningkatan kesejahteraan pekerja, larangan pekerja anak dan diskriminasi, fasilitasi serikat pekerja, serta dorongan pembentukan koperasi pekerja—seringkali terabaikan di lapangan.
“Banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak buruh, yang membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi dan perbudakan modern,” tegas Herwin.
Ia mengingatkan tentang sejarah kelam Koeli Ordonantie di era kolonial Belanda dan menyayangkan bahwa hingga kini, lebih dari satu abad keberadaan perkebunan sawit di Sumatera Timur, belum ada undang-undang khusus yang melindungi buruh perkebunan sawit. Padahal, sektor lain seperti manufaktur, pertambangan, perikanan, pertanian, jurnalistik, dan pendidikan telah memiliki payung hukum yang jelas,” tuturnya.
Herwin yang akrab disapa Mas Don, mendesak agar segera dirumuskan peraturan daerah (Perda) yang melindungi buruh perkebunan sawit dengan perspektif keadilan gender.
“Langkah ini dianggap krusial untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan kesejahteraan, dan mengakhiri praktik eksploitasi terhadap para pekerja yang telah berkontribusi besar bagi industri kelapa sawit,” tegasnya.
Lebih lanjut, peran mahasiswa dalam konteks ini menjadi semakin signifikan. Mereka diharapkan tidak hanya menjadi pengawal implementasi ISPO dari sisi lingkungan dan praktik berkelanjutan, tetapi juga menjadi suara bagi para buruh yang seringkali terpinggirkan.
“Sinergi antara idealisme mahasiswa, implementasi ISPO yang lebih ketat dan inklusif, serta perlindungan hukum yang kuat bagi buruh diharapkan dapat mewujudkan industri kelapa sawit Sumatera Utara yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan,” tutup Herwin.
Sementara itu, Ketua DPD GMNI Sumut, Armando Kurniansyah Sitompul, menegaskan bahwa diskusi ini adalah manifestasi nyata dari komitmen mahasiswa.
“Keterlibatan kami bukan sekadar retorika. Kami memahami betul bahwa masa depan industri kelapa sawit, dengan dampak ekonomi dan lingkungannya yang besar, juga menjadi tanggung jawab generasi muda,” ungkapnya saat dikonfirmasi.
Lebih lanjut, Armando menyoroti bahwa organisasi mahasiswa kini memiliki peran krusial dalam mengadvokasi praktik berkelanjutan dan mengawasi implementasi ISPO. Standar sertifikasi nasional ini, menurutnya, perlu dikawal agar benar-benar memberikan dampak positif yang signifikan.
Namun, ia juga menyoroti tantangan implementasi ISPO. Armando mengungkapkan data Kementerian Pertanian tahun 2024 yang menunjukkan bahwa penerapan ISPO baru mencapai 37% dari total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia yang mencapai 16,38 juta hektare.
“Sosialisasi ISPO yang bersifat wajib oleh pemerintah masih sangat minim. Ini mengindikasikan belum semua perusahaan menunjukkan komitmen terhadap perkebunan sawit berkelanjutan,” ujarnya dengan nada prihatin.
Armando juga menyoroti ketidakmerataan implementasi ISPO, di mana petani kecil cenderung tertinggal.
“Belum terlihat kemajuan signifikan bagi petani kecil dalam penerapan ISPO. Instansi terkait seharusnya lebih proaktif mendorong penerapan ISPO di kalangan petani, bukan malah terkesan meninggalkan mereka. Penyuluhan kepada petani masih sangat minim di lapangan, padahal kita perlu mempersiapkan mereka agar dapat bersaing, bukan hanya fokus memonetisasi perusahaan-perusahaan besar untuk kepentingan segelintir orang saja, apalagi jika mengacu pada Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2025, maka nantinya semua petani sawit di Indonesia wajib memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) mulai 19 Maret 2029. pungkas Armando.
Red