Simalungun (Sumut) -Tunjangan Hari Raya (THR) yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan menjelang Idul Fitri, kini justru menjadi polemik yang menimbulkan kecemburuan sosial, memang benar bahwa ini adalah momen tahunan, tapi apakah momen tahunan ini hal biasa ?. Penulis membatasi pandangan penerima THR, merujuk pada kalangan masyarakat, mulai dari pekerja informal seperti Ojek online, Guru Swasta, hingga aparatur negara seperti PNS, PPPK, dan perangkat desa, memiliki dinamika yang berbeda terkait THR.
• Ojek Online dan Perjuangan Mendapatkan THR
Para pengemudi ojek online (ojol) yang tergabung dalam berbagai komunitas dan paguyuban, menyuarakan aspirasi mereka untuk mendapatkan THR, puncak demo terjadi kemarin pada 12/3/2025 mempertamukan pasukan jaket hijau dengan presiden Prabowo, dan seruan sang presiden terdengar hingga sudut kampong, para pekerja ojol mendapat angin sejuk walau hanya satu paragraph dari presiden yang bunyinya “Perusahaan harus memberi bonus pada mitra driver”. Para Ojol berpendapat bahwa kontribusi mereka dalam perekonomian digital, terutama selama bulan Ramadan, sangat signifikan. Namun, status mereka sebagai mitra kerja membuat mereka tidak memiliki hak yang sama dengan pekerja formal dalam hal THR.
Kendati demikian, Ojol yang berdemo adalah bentuk perjuangan kinerja mereka untuk mendapatkan THR/bonus yang mencerminkan ketidakadilan dalam sistem kerja digital. Meskipun mereka bekerja keras dan memberikan layanan penting, mereka seringkali tidak mendapatkan perlindungan dan hak yang sama dengan pekerja formal. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab perusahaan aplikasi dalam memberikan kesejahteraan bagi mitra kerjanya.
• Guru, PNS, dan PPPK yang Menanti THR dengan Tenang
Di sisi lain, para guru, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tampak lebih tenang dalam menanti THR. Sebagai aparatur negara, mereka memiliki kepastian hukum terkait hak-hak mereka, termasuk THR. Pemerintah telah menetapkan peraturan yang jelas mengenai pemberian THR bagi ASN, sehingga mereka tidak perlu khawatir tentang kepastian pembayaran. Beda cerita seorang guru swasta dan guru honor yang belum terangkat PPPK, nasib hidup kadangkala menjadi ujian panjang yang wajib disyukuri, guru swasta menjadi tanggung jawab bagi yayasan dan guru honor negeri yang belum terangkat bahkan tak tau harus mengadu kemana, dari hal ini bisa di ambil pelajaran bahwa keikhlasan hati seorang guru mengajar bisa saja luntur akibat kecemburuan sosial terkait THR, toh hati juga hanya diri sendiri dan Tuhan yang maha mengetahui. Bila diteruskan, diambil kesimpulan yang berlaku di masyarakat, bahwa PNS adalah pekerjaan idaman.
Namun Ketenangan inilah yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial dari kalangan pekerja informal yang tidak memiliki kepastian yang sama. Perbedaan status dan hak antara aparatur negara dan pekerja informal menciptakan kesenjangan yang perlu diatasi. sebuah renungan yang mungkin bisa di tinjau ulang bagi pemangku kepentingan.
• Perangkat Desa yang Terlupakan
Di tengah sorotan terhadap Ojol dan ASN, perangkat desa seolah terlupakan dalam diskusi tentang THR. Padahal, mereka juga memiliki peran penting dalam melayani masyarakat di tingkat desa. Namun, tidak semua perangkat desa mendapatkan THR, tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah. Ketidakpastian ini menimbulkan ketidakadilan dan dapat mempengaruhi motivasi perangkat desa dalam menjalankan tugas mereka. Mereka juga berhak mendapatkan apresiasi dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian mereka kepada masyarakat. Kita tak boleh lupa, emak-emak yang menuding tak pernah dapat bantuan, ormas yang kerap menyorot kinerja, dan curahan amarah warga, semuanya ditampung oleh perangkat desa.
• Renungan dan Solusi Mengatasi Kecemburuan Sosial
Polemik THR ini mengingatkan kita akan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Kecemburuan sosial yang muncul akibat ketidakadilan ini dapat mengganggu harmoni sosial dan menghambat pembangunan. Untuk mengatasi kecemburuan sosial terkait THR, diperlukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Beberapa ide yang dapat dipertimbangkan antara lain:
- Regulasi yang mengatur hak-hak pekerja, termasuk hak atas THR, dengan mempertimbangkan karakteristik dan tantangan yang mereka hadapi.
- Dialog sosial yang konstruktif untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan terkait THR. Dialog ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
- Peningkatan kesejahteraan pekerja melalui program-program pelatihan, perlindungan sosial, dan akses terhadap layanan keuangan.
Dengan menerapkan solusi-solusi ini, diharapkan polemik THR dapat diatasi dan kecemburuan sosial dapat diminimalkan. Mari kita jadikan THR sebagai momentum untuk memperkuat solidaritas dan keadilan sosial di Indonesia.
Red