Simalungun – Tulisan kali ini membahas hal yang sedang ramai diawal Februari ini, tentang ramainya perbincangan murid-murid sekolah tak bisa mendaftar di seleksi jalur undangan atau akrab diperdengarkan sebagai SNBP (seleksi nasional berbasis prestasi) yang mempertimbangkan masuknya siswa ke PTN melalui prestasi akademik siswa atau biasa disebut nilai raport.
Tak semua sekolah mendapat musibah ini, ada beberapa sekolah, salah satunya adalah SMA Negeri 1 Tanah Jawa. Sekolah tempat penulis dahulu belajar. Dan ada juga beberapa sekolah di media sosial yang mengalami hal serupa. Dari banyak sumber yang penulis dapat, penyebab paling banyak diperbincangkan adalah kelalaian guru dan staf dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan telat input data siswa ke website kementerian sehingga tutuplah jadwal input. Dan terjadilah, ibarat nasi yang sudah jadi bubur, seluruh siswa yang mendaftar SNBP dinyatakan gagal.
Tentu tak bisa di anggap enteng, efek domino akan terjadi, baik penurunan akreditasi sekolah dan penurunan kepercayaan masyarakat. Tapi yang paling di takutkan adalah, ketidakpercayaan murid, murid hanya akan datang ke sekolah karena butuh ijazah, bukan butuh guru untuk belajar, butuh ilmu untuk melawan kebodohan,ya, hilangnya nurani belajar. Bila sudah seperti itu, apakah mungkin indonesia emas 2045 bisa tercapai ?. Seperti tahun 2019 ketika presiden saat itu Joko Widodo memperkenalkan konsep bahwa indonesia harus adil makmur saat perayaan 100 tahun negara ini merdeka.
Guru dan staf sekolah hanyalah manusia, punya salah dan kesilapan, mereka juga dulu hanyalah murid. Sebuah siklus lingkaran yang berulang, namun terjadi jurang lebar antara murid dan guru di sekolah saat ini. Tentu hal ini menjadi pertanyaan utama bagi guru, yang semasa kuliah sudah dibekali pengetahuan tentang pendidikan. Ki hadjar Dewantara selaku tokoh pendidikan juga pernah mengatakan “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup. Pendidikan itu sendiri adalah kehidupan.”
Revolusi mental yang pernah di gaungkan dahulu pun sepertinya harus di ulik kembali, banyak murid marah pada gurunya karena seorang guru punya salah, penuh kesilapan. Padahal ketika sang murid salah, seorang guru hanya menghukum siswa dengan mengutip sampah, menghukum murid kesayangannya dengan bernyanyi ceria, atau bila kita bawa ke ranah yang lebih kejam, seorang siswa mendapat SP1, SP2 dan ke 3. Kini bila seorang guru salah, ia harus meminta maaf di depan suara memaki dan meneriaki. Air mata berlinang tanpa henti. Dr. Bismar Sibuea, M.Pd pernah bilang di ruang kampus “Jangan menertawai gurumu, nanti kau ditertawai setan, sebab setan pun tidak pernah menertawai gurunya.”
Nurani kini menjadi hal yang sedang diuji. Baik guru, murid, orangtua, lingkungan masyarakat. Nurani sebagai manusia, bentuk ikhlas hati, untuk menjadi manusia terpuji, mencari peluang lain bagi murid, menjadi pribadi yang benar benar ikhlas dalam mengajar bagi guru, tak hanya mementingkan konten konten pendidikan dengan alasan kurikulum baru padahal cari cuan baru. Dan poin penting bagi pimpinan sekolah, bahwa tanggung jawab ini adalah murni ada dan berada di pundaknya, sebab ialah pemegang kuasa tertinggi di sekolah. Dalam biografi Albert Einstein penulis pernah membaca kalimat berikut “Pemimpin yang baik tidak memerintah, tapi memimpin dengan contoh.”
Red